Rabu, 24 Maret 2010

mimpi itu jadi kenyataan....

mimpi semalam ternyta kejadian juga sma gw. smalam gw bermimpi putus dengan ce gw n pnya pacr baru yang tak lain tak bukan adalah teman gw sendiri. hari ini, ternyata mipi itu terjadi. ce gw mutusin gw n buka cincin yang melingkar di jari gw. gw termenung... np bisa kek gni????? pi gw berusaha untuk mempertahankan hubungan yang udh gw jalani selama 2 tahun ini. perjuangan gw g' sia - sia, ce gw berfiki lagi dan kembali memasangkan cincin dijemari gw. sedih senang semuanya berkecamuk dalam bathin gw saat ini....

Selasa, 23 Maret 2010

Biokonservasi:PENGETAHUAN MASYARAKAT MENGENAI KONSERVASI

PENGETAHUAN MASYARAKAT MENGENAI KONSERVASI


Untuk mengetahui pengetahuan masyrakat mengenai konservasi, saya melakukan wawancara pada ibu kos dan bapak kos. Nama ibu kos saya adalah ibu Mardiana. Beliau berusia 40 tahun dan bekerja sebagai pegawai di kantor lurah kalumbuak. Dan bapak kos saya bernama bapak Abdullah. Beliau berusia 50 tahun dan bekerja sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah menengah kejuruan negri di kota padang.
Pada ibu, saya bertanya mengenai tahukah ibu apa itu konservasi alam? Dan ibu menjawab, beliau tidak begitu paham dengan konservasi alam. Kemudian saya menjelaskan apa itu konservasi. Konservasi adalah Perlindungan diversitas hayati, termasuk spesies , komunitas,variasi genetik dalam spesies. Ibu lalu mengiyakan dan memahami penjelasan yang saya berikan.
Lalu saya menanyakan kembali pada ibu Mardiana menurut ibi penting tidak adanya konservasi alam. Ibu Mardiana menjawab bahwa konservasi alam sangat penting dan harus dilakukan. Menuru beliau konservasi sangat berguna untuk menyelamatkan hewan dan tanaman langka yang terancam punah, agar suatu saat nanti anak cucu kita tidak hanya mendengar ceritanya dibuku pelajaran sekolah namun juga dapat melihat sendiri hewan atau tumbuhan tersebut.
Kemudian kepada ibu saya bertanya lagi mengenai maskot flora sumatera barat. Saya bertanya tahukah ibu maskot flora dari Sumatera Barat. Ibu mardiana menjawab kelapa dan pisang. Kemudian saya memberi tahu ibu bahwa jawabannya tidak tepat. Kemudian saya jelasakan mengenai maskot flora Sumatera Barat adalah pohon Andalas.
Kemudian saya bertanya lagi pada ibu mardiana, tahukah ibu bahwa maskot flora kita yaitu pohon Andalas terancam punah? Ibu Mardiana menjawab ya dia tahu menganai status dari pohon Andalas. Kemudian dia mengatakan kalo kita sebagai orang Sumatera Barat yang telah mengklain pohon Andals adalah maskot flora kita, kita harus melestarikan pohon ini. Dia juga menyatakan bahwa sangat menaroh harapan pada mahasiswa untuk menggerakkan masyarakat dan memberi penyluhan pada masyarakat mengenai pohon Andalas tersebut.
Ibu Mardiana juga mengisahkan bahwa dahulu dia sering menemukan pohon Andalas ditempatnya tinggal. Dia mengatakan pohon Andalas tersebut pohon yang tinggi dan memiliki kayu yang kuat. Masyarakat dahulu banyak menebang pohon tersebut untuk dijadikan bahan bangunan rumah. Tapi sekarang pohon tersebut sudah sangat jarang ditemukannya. Ibu Mardiana baru menyadari bahwa pohon Andalas sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan agar anak cucu kita dapat melihat pohon tersebut dan tidak tinggal hanya sebagai kisah semata tanpa mereka melihat sendiri pohon Andalas tersebut.
Pada ibu Mardiana saya menyakan lagi mengenai maskot fauna Sumatera Barat. Lemudian ibu Mardiana menjawab bahwa maskot fauna Sumatera Barat adalah Harimau. Kemudian saya menjelaskan pada ibu Mardiana Bahwa maskot fauna Sumatera Barat adalah burung kuwau atau dalam bahasa latin disbut Argusianus argus. Saya menjelaskan pada ibu Mardiana bahwa harimau bukanlah maskot Sumatera Barat melainkan salah satu Satwa langka yang dilindungi.
Lalu saya bertanya tahukah ibu bagaiman status dari burung kuwau tersaebut. Ibu Mardiana menjawab beliau tidak tahu mengenai status dari burung kuwau tersebut. Kemudian saya jelaskan bahwa status dari burung kuwau tersebut saat ini adalah salah satu hewan yang dilindungi. Kemudian saya bertanya pada ibu Mardiana tahukah ibu apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Kemudian ibu Mardiana menjawab hal ini terjadi mungkin karena ulah manusia. Manusia sering melakukan illegal loging sehingga habitat dari burung kuwau tersebut terdesak dan lama kelamaan banyak dari burung kuwau tersebut yang mati. Ibu Mardiana menyatakan bahwa dia juga sangat tidak menyetujui adanya illegal loging. Beliau berharap agar pemerintah dapat bertindak tegas terhadap pelaku yang melakukan illegal loging.
Lalu saya memberikan pertanyaan lagi pada ibu Mardiana. Apakah ibu tahu mengenai bioteknologi? Kemudian ibu Mardiana menjawab bahwa dia kurang tahu dalam hal bioteknologi. Dia hanya mengetahui bioteknologi adalah suatu teknologi yang berhubungan dengan makhluk hidup. Kemudian saya menjelaskan bioteknologi adalah suatu teknologi pemanfaatan organisme atau produk organisme untuk menghasilkan barang dan jasa. Kemnudian saya juga menjelaskan bahwa dalam biteknologi terdapat satu cabang ilmu yang bernama rekayasa genetika. Rekayasa genetika adalah prosedur dasar dalam menghasilkan produk bioteknologi. Kemudian saya memberikan contoh dalam hal pembuatan produk tomat transgenik. Lalu saya jelaskan bahwa tujuan dari rekayasa genetika ini adalah untuk menghasilkan tanaman yang tahan terhadap hama penyakit. Setelah itu saya bertanya lagi pada ibu Mardiana, apakah menurut ibu baik penggunaan rekayasa gentika ini? Kemudian ibu Mardiana menjawab, bahwa rekayasa gentika yang seperti ini sangat baik. Dia berpendapat bahwa pembuatan tanman transgenik akan mampu memperbanyak hasil panen dan meningkatkan penghasilan petani. Setelah itu saya jelaskan, memang pembuatan tanaman transgenik dengan rekayasa gentika sangatlah baik bagi manusia, namun dari segi biokonservasi ini adalah suatu kemunduran. Dengan adanya rekayasa genetika ini tanaman yang dihasilkan nantinya tidak akan memiliki kekayaan biodiversitas atau kekayaan keragman, akan terjadi keseragaman. Stelah mendengar pernyataan saya ini, ibu Mardiana hanya bisa mengiyakan saja.
Setelah itu saya bertnaya lagi pada ibu mardiana, apakah ibu tahu tentang kebijakan menteri Lingkungan Hidup saat ini? Ibu Mardiana tauhu, dan menjawab kebijakan itu adalah satu orang satu pohon atau dalam bahasa inggris one man one tree. Kemudian saya bertanya lagi apakah menurut ibu, kebijakan itu telah berjalan dengan baik? Dan ibu Mardian menjawab bahwa kebijakan ini telah berjalan, namun belum terlaksana begitu baik.
Di tempat yang berbeda saya pun mewawancara bapak Abdullah. Pada bapak Abdullah atau yang lebih dikenal dengan nama pak Oyong saya menanyakan apakah bapak tahu dengan biokonservasi? Bapak Oyong menjawab bahwa dia tidak tahu dengan biokonservasi. Kemudian saya jelaskan apa itu biokonservasi seperti yang saya jelaskan sebelumnya pada ibu Mardiana.
Kemudian saya menanyakan lagi, apakah bapak setuju dengan adanya biokonservasi ini? Bapak oyong mengatakan bahwa dia sangat setuju dengan adanya biokonservasi. Jika biokonservasi tersebut benar seperti apa yang telah saya jelaskan. Menurut beliau perlu adanya suatu badan untuk perlindungan dan pelestarian hewan – hewan langka yang ada di dunia ini.
Lalu saya bertanya pada bapak oyong, apakah bapak tahu maskot flora dan fauna Sumatera Barat? Sperti yang telah saya tanyakan sebelumnya pada ibu Mardiana. Bapak Oyong menjawab bahwa dia tidak tahu. Lalu saya jawab dan saya jelaskan mengenai maskot flora dan Fauna di Sumatera Barat seperti yang saya jelaskan sebelumnya pada ibu Mardiana.
Dari wawancara yang telah saya lakukan saya dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat kita, terutama masyarakat yang berumur dewasa tidak mengetahui biokonservasi. Oleh karena itu kita harus melakukan lagi penyuluhan dan pemberitahuan mengenai biokonservasi ini pada masyarakat.

Kultur Jaringan Tumbuhan: KULTUR IN VITRO BIJI TANAMAN JERUK

I. PENDAHULUAN


1.1 Tinjauan Pustaka
Jeruk merupakan komoditas pertanian yang penting saat ini dan menempati posisi teratas dalam bidang agroindustri, baik sebagai buah segar maupun dalam bentuk olahan. Menurut Jumin (1997) permintaan jeruk terus meningkat karena harganya yang ekonomis dan banyak mengandung vitamin C, sehingga produksi jeruk belum mencukupi kebutuhan konsumsi jeruk dalam negeri. Hal ini merupakan tantangan dan peluang yang baik bagi para petani, pengusaha jeruk dalam meningkatkan produksi jeruk.
Manfaat tanaman jeruk sebagai makanan buah segar atau makanan olahan dimana kandungan vitamin C yang cukup tinggi. Di beberapa negara telah ada diproduksi minyak dari kulit dan biji jeruk, gula tetes, alkohol dan pektin dari buah jeruk yang terbuang. Minyak kulit jeruk dipakai untuk membuat minyak wangi, sabun wangi, esens, minuman dan untuk campuran kue dan dapat juga digunakan sebagai obat tradisional (Rukmana,2003).
Untuk meningkat produksi jeruk ini dibutuhkan bibit yang baik dan unggul untuk mendapatkan bibit unggul ini dapat dilakukan dengan cara kultur jaringan. Dalam budidaya tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan, pemberian zat pengatur tumbuh dalam media tanam dan pemilihan eksplan sebagai bahan inokulum awal yang ditanam dalam media perlu diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan tersebut menjadi bibit yang baru (Suryowinoto,1996).
Kultur jaringan/Kultur In Vitro/Tissue Culture adalah suatu teknik untuk mengisolasi, sel, protoplasma, jaringan, dan organ dan menumbuhkan bagian tersebut pada nutrisi yang mengandung zat pengatur tumbuh tanaman pada kondisi aseptik,sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna kembali.
Menurut Gunawan (1988), arah pertumbuhan dan perkembangan atau regenerasi eksplan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: komposisi media serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan dan lingkungan tempat eksplan dikulturkan. Medium yang digunakan untuk membiakan potongan jaringan tersebut mengandung makanan berupa unsur – unsur hara makro dan mikro.
Penggunaan eksplan dari jaringan muda lebih sering berhasil karena sel-selnya aktif membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan selulose yang menyebabkan kekakuan pada sel. Gunawan (1995) menyatakan bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah : pucuk muda, batang muda, daun muda, kotiledon, hipokotil. Menurut Wattimena (1992) perbedaan dari bagian tanaman yang
digunakan akan menghasilkan pola pertumbuhan yang berbeda. Eksplan tanaman yang masih muda menghasilkan tunas maupun akar adventif lebih cepat bila dibandingkan dengan bagian yang tua.
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyaratan untuk mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan. Yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril. Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya. Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar. Nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan (Mahmoudzadeh and Kruif ,1992).
Unsur makro dan mikro digunakan dalam bentuk senyawa garamnya. Sedangkan vitamin yang berfungsi untuk pertumbuhan umumnya dari kelompok vitamin B (B1, B6 dan B12). Pembentukan embrio somatik atau penggandaan tunas memerlukan zat pengatur tumbuh dari jenis sitokinin dan auksin. Medium yang digunakan dapat berupa cairan atau padatan dengan menambahkan agar. Media dalam botol yang berisi potongan jaringan kemudian ditempatkan dalam ruang dengan suhu dan kelembapan ruang nisbi yang terkontrol (berAC), dengan pencahayaan 12 jam per hari yang berasal dari lampu neon dengan intensitas cahaya antara 3.000 – 10.000 luks (Mahmoudzadeh and Kruif ,1992).
Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat dan merubah proses fisiologi tumbuhan (Abidin, 1995). Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Menurut Wattimena (1992) auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01 – 10 ppm.
Naphthalene Acetic Acid (NAA) adalah auksin sintetik yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempunyai sifat lebih stabil daripada Indol Acetic Acid (IAA). Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) IAA dapat mengalami degradasi yang disebabkan adanya cahaya atau enzim oksidatif. Oleh karena sifatnya yang labil IAA jarang digunakan dan hanya merupakan hormon alami yang ada pada jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan. Sedangkan NAA tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi.
Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan dalam mengatur pembelahan sel serta mempengaruhi diferensiasi tunas pada jaringan kalus. Menurut Mariska et al., (1987) Benzyl Adenine (BA) merupakan zat pengatur tumbuh sintetik yang daya rangsangnya lebih lama dan tidak mudah dirombak oleh sistem enzim dalam tanaman. BA dapat merangsang pembentukan akar dan pembentukan tunas.
Penambahan auksin dan sitokinin secara kombinasi telah berhasil dilakukan terhadap beberapa spesies tanaman. Welander (1997) dalam Asmirda (1993) membuktikan bahwa rasio NAA dan BA yaitu 10 : 1 efektif untuk induksi tunas dan akar Begonia sp. Wijono dalam Prahardini dan Sudaryono (1992) membuktikan bahwa penambahan 3 mg/l NAA dan 2 mg/l BA efektif untuk induksi kalus pepaya dan jumlah kultur perkalus meningkat dengan peningkatan NAA dari 1 mg/l – 3 mg/l.
Berdasarkan kebutuhan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan kalus, maka dalam media tanam perlu ditambahkan auksin dan sitokinin. Interaksi kedua zat ini mempengaruhi pertumbuhan, morfogenesis dalam kultur sel, kultur jaringan dan organ. Konsentrasi dari kedua zat pengatur tumbuh ini sering mengendalikan bentuk dan jumlah pertumbuhan suatu kultur, baik pertumbuhan kalus atau organogenesis. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon eksplan daun tanaman jeruk manis secara invitro akibat pemberian NAA dan BA.

1.2 Alasan Mengkultur Biji
Pada praktikum kali ini bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan percobaan adalah biji dari tanaman jeruk. Alasan menggunakan biji tanaman jeruk adalah karena biji tanaman jeruk bersifat poliembrioni dimana dalam satu biji terdapat lebih dari satu embrio. Pierik (1981) menjelaskan bahwa poliembrioni pada spesies Citrus sering terjadi dalam satu biji terdapat embrio zigotik (muncul dari penyatuan satu sel telur dan satu sel gamet jantan) dan sejumlah embrio yang dibentuk secara vegetatif (sehingga dikatakan embrio adventif). Embrio adventif ini beregenerasi dari sel – sel dalam jaringan nusellus dan integumen. Menurut Bhojwani (1983), sel – sel somatik tersebut mengalami pembelahan dan membentuk embrio tambahan. George dan Sherrington (1984) menambahkan bahwa embrio tambahan tersebut akan menghasilkan anakan secara genetik identik dengan tanaman induknya. Jadi dengan penanaman dan pemeliharaan poliembrio secara kultur jaringan akan diperoleh tumbuhan yang sifatnya sama dengan induknya. Menurut Hendaryono (1994), selain memperoleh bibit yang seragam dan mirip dengan induknya melalui teknik kultur jaringan diperoleh tanaman yang bebas terhadap penyakit.


II. PELAKSANAAN PRAKTIKUM


3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, bulan November sampai Desember 2009, bertempat di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Andalas.

3.2 Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu : Botol-botol kultur, petridisk, pipet tetes, gelas uikur, becker glass, pinset, pisau, gagang scaple, aluminium foil, kertas penutup, karet gelang, lampu spiritus, hotplete, magnetik stirer, timbangan analitik, sprayer, autoclave, kertas tissu, pH uneversal, lampu UV, keranjang botol, selotif bening dan LAFC. Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu : biji tanaman jeruk (jeruk Brastagi, jeruk sunkist,dan jeruk Bali), medium MS dan kelengkapannya, mkyoinositol, agar, sukrosa, alkohol 96 %, detergen, air destilata steril, chlirox, HCL 0,1 N dan NaOH 0,1 N.

3.3 Cara Kerja

3.3.1. Teknik sterilisasi
Pertama dilakukan sterilisasi terhadap alat dan bahan. Semua alat yang digunakan untuk pembuatan medium, alat diseleksi dan alat transfer yang akan digunakan disterilisasi dengan stoma. Untuk botol kultur, dicuci bersih dan direndam dalam larutan disenfektan selama 24 jam dan dikeringkan. Setelah itu dimasukkan ke dalam oven selama 24 jan dan siap digunakan. Selanjutnya dilakukan sterilisasi eksplan, pertama biji jeruk dibersihkan dengan detergen dan dibilas dengan air bersih yang mengalir selama 15-30 menit. Selanjutnya dilakukan sterilisasi di dalam LAFC, yaitu dengan mrendam biji jeruk ke dalam alkohol 70 % selama 1-2 menit, kemudian dibilas dengan air destilata 3-5 kali. Kemudian biji jeruk disterilisasikan lagi dengan meggunakan desinfektan 30 % selama 5 menit dan setelah itu dicuci lagi dengn air destilata 3-5 kali.

3.3.2. Teknik pembuatan medium
Pertama dilakukan penimbangan sukrosa sebanyak 15 gram dan agar sebanyak 3,5 gram. Kemudian diambil erlenmayer yang sudah steril dan diletakkan diatas hotplate yang belum dihidupkan. Kedalam erlenmayer tersebut dilakukan pengisian secara berturut-turut, yaitu 25 ml hara makro, 2.5 ml hara mikro , 2.5 ml zat besi dan zat pengkelat, 2.5 ml vitamin dan 5 ml myo inositol. Setelah semua komposisi tersesdbut dimasukkan ke dalam erlenmayer, lalu ditambahkan air sebanyak 462.5 ml dan dimasukkan magnetik stirer. Selanjutnya hotplate di hidupkan, dan dimasukkan sukrosa dan qagar yang sudah ditimbang sebekumnya. Setelah sukrosa dan agar homogen, dilakukan pengukuran pH. Jika pH masih dibawah 5.5 maka ditambahkan NaOH 0.1 N sampai pH menjadi 6. setelah pH mencapai 6, medium dibiarkan sampai masak. Setelah masak, medium terebut dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 60 buah dan disimpan di dalam ruang kultur.








Gambar 1. Pembuatan Medium



3.3.3 Teknik Penanaman Eksplan.
Sebelum menanam, terlebih dahulu dilakukan sterilisasi ruang tanam dengan menyemprotkan ruang tersebut dengan alkohol 70 %. Selanjutnya alat-alat transfer seperti pinset, pisau scaple, cawan petri, botol kultur, media dan alat lain yang dibutuhkan ditempatkan di dalamLAFC dan dilakukan penyinaran dengan lampu UV untuk sterilisasi lanjurtan selama 45-60 menit. Kemudian eksplan yang sudah disterilisasikan ditanam kedalam botol kultur yang telah berisi media tanam, lalu botol kultur ditutup dengan selotip bening dengan rapat dan kedap udara sehingga tidak terjadi kontaminasi pada hasil yang telah dikerjakan. Lalu botol-botol yang sudah ditanami eksplan ditempatkan diruang inkubasi selama 7 hari dan dilakukan pengamatan setiap minggu untuk mengetahui respon eksplan yang ditanam pada medium yang digunakan.








Gambar 2. Lamina Air Flow Cabinet
3.3.4 Pemeliharaan
Biji jeruk yang telah ditanam dalam botol kemudian disimpan dalam ruangan pertumbuhan. Dalam ruangan ini suhu diatur konstan dan juga dilengkapi dengan lampu yang bertujuan sebagai pengganti sinar matahari.





3.4 Parameter Pengamatan
3.4.1 Hari munculnya akar
Hari munculnya akar diamati seminggu sekali etelah diadakan praktikum kultur jarinngan tersebut. Yang diamati pada pertumbuhan akar yang muncul adalah panjang akarnya (cm) dan apakah poliembrio atau tidak

3.4.2 Penampakan Morfologis
Pengamatan morfologis pada masing-masing biji jeruk adalah melihat perkembangan luar dari tanaman biji tersebut, seperti bentuk biji mengkerut atau tidak, keadaan akarnya, bentuk bijinya sudah terbelah atau belum dan biji yang belum mengalami perubahan.

Gambar Pertumbuhan Biji Jeruk Sunkist









Gambar Pertumbuhan Biji Jeruk Brastagi


Gambar Pertumbuhan Biji Jeruk Bali Dengan Kulit Biji tidak Dibersihkan









Gambar Perkembangan Biji Jeruk Bali Dengan Kulit Biji Dibersihkan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan pada kultur in vitro berbagai jenis jeruk adalah sebagai berikut :
3.1. Jeruk Bali (Citrus grandis)
Tabel. 1 Eksplan Jeruk Bali (Citrus grandis) pengamatan tanggal 10 Desember 2009
No. Botol Eksplan Biji Jeruk Bali
Kode Biji Terbuka Kode Biji Tertutup
1 1 Mulai tumbuh tunas 1 Belum ada perubahan
2 Tunas mulai terlihat 2 Belum ada perubahan
3 Belum ada perubahan 3 Belum ada perubahan
2 1 Sudah tumbuh radikula warna coklat kekuningan 1 Belum ada perubahan
2 Sudah tumbuh radikula warna coklat kekuningan 2 Belum ada perubahan
3 Sudah tumbuh radikula warna coklat kekuningan 3 Belum ada perubahan
3 1 Sudah ada radikula berwarna putih 1 Belum ada perubahan
2 Radikula berwarna hijau dan menancap kemedium 2 Belum ada perubahan
3 Belum ada perubahan 3 Belum ada perubahan
4 1 Sudah ada tunas berwarna putih 1 Belum ada perubahan
2 Sudah ada tunas 2 Belum ada perubahan
3 Ada tunas 3 Belum ada perubahan
5 1 Sudah ada pertumbuhan radikula dan menancap ke medium 1 Belum ada perubahan
2 Radikula baru tumbuh dan masih kecil 2 Belum ada perubahan
3 Belum ada perubahan 3 Belum ada perubahan




Tabel. 2 Eksplan Jeruk Bali (Citrus grandis) pengamatan tanggal 17 Desember 2009
No. Botol Eksplan Biji Jeruk Bali
Kode Biji Terbuka Kode Biji Tertutup
1 1 Radikula tumbuh tegak lurus kebawah ± 1,5 cm. 1 Belum ada perubahan
2 Radikula sudah tumbuh tegak lurus kebawah ± 2 cm 2 Belum ada perubahan
3 Radikula tegak lurus ± 1,5 3 Belum ada perubahan
2 1 Panjang radikula ± 1 cm, warna radikula berwarna kehijauan. 1 Belum ada perubahan
2 Radikula sudah tumbuh ± 1,5 cm 2 Belum ada perubahan
3 Panjang radikula ± 2 cm 3 Belum ada perubahan
3 1 Radikula sudah tumbuh 1 Belum ada perubahan
2 Radikula sudah tumbuh dan menancap kemedium 2 Belum ada perubahan
3 Radikula sudah tumbuh berwarna hijau dan menancap kemedium ± 2 3 Belum ada perubahan
4 1 Tunas radikula sudah tumbuh menancap kemedium sampai kedasar botol ± 3,5 cm warna pangkal hijau kuning 1 Belum ada perubahan
2 Radikula sudah tumbuh tegak lurus kebawah ± 1,5 cm 2 Belum ada perubahan
3 Panjang radikula ± 0,7 cm 3 Belum ada perubahan
5 1 Radikula menancap kebawah ± 1,5 cm 1 Belum ada perubahan
2 Panjang radikula ± 2 cm 2 Belum ada perubahan
3 Radikula sudah tumbuh tegak lurus kebawah ± 1,5 cm, warna radikula berwarna kehijauan. 3 Belum ada perubahan

Dari table pengamtan diatas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan biji jeruk bali yang dibersihkan kulit luarnya lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan kulit biji yang masih terdapat kulit luarnya. Hal ini dapat dilihat dari kemunculan tunas dan radikula pada biji jeruk bali yang dibersihkan kulit bijinya, sedangkan pada biji jeruk bali yang masih terdapat kulit bijinya tidak nampak terjadinya perkembangan dan pertumbuhan.

3.2. Jeruk Manis Beras Tagi (Citrus sinensis L.)
Tabel. 3. Eksplan Jeruk manis Beras Tagi (Citrus sinensis L.) pengamatan tanggal 10 Desember 2009
No. Botol Eksplan Biji Jeruk Beras Tagi
Kode Biji Terbuka Kode Biji Tertutup
1 1 Sudah tumbuh radikula berwarna hijau 1 Belum ada perubahan
2 Sudah tumbuh radikula 2 Belum ada perubahan
3 Sudah tumbuh radikula 3 Belum ada perubahan
2 1 - 1 Belum ada perubahan
2 - 2 Belum ada perubahan
3 - 3 Belum ada perubahan

Tabel. 3. Eksplan Jeruk manis Beras Tagi (Citrus sinensis L.) pengamatan tanggal 17 Desember 2009
No. Botol Eksplan Biji Jeruk Beras Tagi
Kode Biji Terbuka Kode Biji Tertutup
1 1 Poli embrio dengan banyaknya tunas yang tumbuh pada satu biji. Biji benar-benar terkelupas dari kulitnya, terdapat juga bakal radikula ± 0,5 cm 1 Belum ada perubahan
2 No 2 sama dengan no 1 yaitu poli embrio. Pada satu biji terdapat kotiledon hasil perkembangan muselus disebut juga dengan embrio somatis, terdapat juga bakal radikula ± 0,5 cm 2 Belum ada perubahan
3 - 3 Belum ada perubahan
2 1 - 1 Belum ada perubahan
2 - 2 Belum ada perubahan
3 - 3 Belum ada perubahan

Dari table pengamatn diatas dapat disimpulkan bahwa biji jeruk brastagi pertama kali muncul yang terlihat adalah Poli embrio dengan banyaknya tunas yang tumbuh pada satu biji. Biji benar-benar terkelupas dari kulitnya, terdapat juga bakal radikula ± 0,5 cm.

3.3. Jeruk Sangkis
Tabel. 3. Eksplan Jeruk sangkis (.........) pengamatan 10 Desember 2009
No. Botol Eksplan Biji Jeruk Sangkis
Kode Biji Terbuka Kode Biji Tertutup
1 1 Telah tampak bakal radikula berwarna putih panjang ± 0,5 cm 1 Belum ada perubahan medium agak cair
2 Panjang radikula ± 2,5, warna pangkal hijau tua dan tengah hijau muda 2 Belum ada perubahan medium agak cair
3 Telah tampak bakal radikula ± 0,5 cm 3 Belum ada perubahan medium agak cair
2 1 Bakal radikula telah muncul ± 1 cm 1 Belum ada perubahan
2 Panjang radikula ± 2 cm 2 Belum ada perubahan
3 Belum ada perubahan 3 Belum ada perubahan
3 1 - 1 Belum ada perubahan dan biji kerut
2 - 2 Belum ada perubahan dan biji kerut
3 - 3 Belum ada perubahan dan biji kerut
4 1 - 1 Belum ada perubahan dan biji kerut
2 - 2 Belum ada perubahan dan biji kerut
3 - 3 Belum ada perubahan dan biji kerut
Dari table pengamatan diatas dapat dilihat bahwa persentase hidup dari eksplan hasil kultur biji jeruk pada setiap perlakuan mencapai 100%. Hal ini menunjukkan eksplan memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi sehingga dengan menumbuhkan pada media yang terdiri dari mineral, air dan gula eksplan mampu untuk hidup. Persentase hidup eksplan yang mencapai 100% ini sangat ditentukan oleh kondisi eksplan pada saat menanam dan media yang digunakan dalam kultur biji jeruk ini. Medium yang digunakan dalam percobaan ini adalah medium MS dimana komposisi medium MS telah memenuhi syarat – syarat nutrisi untuk merangsang pertumbuhan sehingga eksplan dapat hidup dan tumbuh. Gunawan (1988), menyatakan bahwa medium MS merupakan medium dasar yang mengandung unsure hara esensial sebagai sumber energi dan vitamin yang dapat digunakan untuk semua jenis kultur jaringan.
Dari hasil praktikum diatas biji yang memberikan respon cepat terhadap pertumbuhan adalah biji yang dibersihkan kulit bijinya. Hal ini terjadi karena biji yang dibersihkan kulit bijinya lebih maksimal dalam menyerap nutrisi yang tersedia sehingga pertumbuhan dan perkembangan kalusnya akan baik dan dapat dengan cepat terjadinya organogenesis dari kalus ini. Pada biji yang masih terdapat kulit bijinya tidak tampak terjadinya perkembangan. Hal ini terjadi karena kulit biji dapat menghambat masuknya zat – zat hara mineral yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Selain itu adanya kulit biji merupakan salah satu factor dormansi biji. Dormansi pada biji yaitu suatu penundaan pertumbuhan selama periode tertentu yang mana ketidakmampuan tumbuh ini salah satunya disebabkan oleh kondisi luarnya yang tidak sesuai. Dormansi juga dapat terjadi karena faktor lingkungan seperti air, cahaya dan temperatur dan faktor dalam seperti adanya senyawa-senyawa tertenatu pada kulit biji yang bersifat sebagai penghambat dalam hal ini termasuk ABA (Tim Fisiologi Tumbuhan, 2009).
Faktor yang menentukan keberhasilan kultur jaringan tumbuhan adalah media dan zat pengatur tumbuh. Medium yang digunakan untuk membiakkan potongan jaringan tersebut mengandung makanan berupa unsur-unsur hara makro dan mikro. Disamping itu , ke dalam medium juga ditambahkan sumber karbon yang berasal dari sukrosa dan gula,vitamin dan zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kemampuan sel untuk menjadi calon tanaman atau planlet (Dixon and Gonzales, 1994).
Unsur makro dan mikro digunakan dalam bentuk senyawa garamnya. Sedangkan vitamin yang berfungsi untuk pertumbuhan umumnya dari kelompok vitamin B (B1, B6 dan B12). Pembentukan embrio somatik atau penggandaan tunas memerlukan zat pengatur tumbuh dari jenis sitokinin dan auksin. Medium yang digunakan dapat berupa cairan atau padatan dengan menambahkan agar. Media dalam botol yang berisi potongan jaringan kemudian ditempatkan dalam ruang dengan suhu dan kelembapan ruang nisbi yang terkontrol (berAC), dengan pencahayaan 12 jam per hari yang berasal dari lampu neon dengan intensitas cahaya antara 3.000 – 10.000 luks (Willadsen, 1979).
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyaratan untuk mendukung kehidupan jaringan yang dibiakkan. Yang paling esensial adalah wadah dan media tumbuh yang steril. Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya. Ada dua penggolongan media tumbuh: media padat dan media cair. Media padat pada umumnya berupa padatan gel, seperti agar. Nutrisi dicampurkan pada agar. Media cair adalah nutrisi yang dilarutkan di air. Media cair dapat bersifat tenang atau dalam kondisi selalu bergerak, tergantung kebutuhan (Willadsen, 1979).
Didalam medium yang digunakan untuk kultur jaringan mengandung zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh mempunyai peranan yang penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada kebanykan kultur jaringan, hanya auksin dan sitokinin yang sering digunakan. Khrisnamoorthy (1981) mengemukakan bahwa adanyan zat pengatur tumbuh secara langsung mempengaruhi aktifitas metabolisme dari sel –sel potongan jaringan yang sedang tumbuh.
Selain medium yang digunakan, keberhasilan kultur jaringan juga ditentukan oleh kondisi eksplan yang digunakan. Biasanya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah bagian dari tanaman yang muda, jaringan embrio seperti biji dan jaringan meristematik dari tanaman. Menurut Khrisnamoorthy (1981), daerah meristamatik mengandung relatif mengandung auksin, giberilin dan sitokinin yang tinggi dan biasanya dapat digunakan sebagai sumber eksplan karena sel yang membentuknya aktif membelah.
Potongan jaringan pada suatu medium dapat diketahui berdasarkan respon yang terjadi sepereti terbentuknya kalus, organogenesis atau embriogenesis. Perkembangan eksplan didalam botol kultur media menjadi planlet dapat terjadi melalui beberapa alur. Pada kultur biji jeruk, ada dua alur pembentukan embrio somatik, yaotu: pembentukan embrio somatik secara langsung dari sumber eksplan. Pembentukan embrio somatik pada jalur ini tidak melalui proses pembentukan kalus disebut juga direct somatic embriogenesis. Alur selanjutnya adalah pembentukan embrio somatik secara tidak langsung dari sumber eksplan, tetapi melalui pembentukan kalus terlebih dahulu disebut juga indirect somatic embryogenesis (George dan Sherrington, 1984).
Keberhasilan dari kultur biji jeruk ini dalam pembentukan tunas juga dipengaruhi oleh sifatnya yang poliembrioni. Poli embrio pada biji jeruk ini berasal dari jaringan integument dan nusellus. Menurut Pierik (1987), jaringan nusellus dari Citrus bisa digambarkan seperti kumpulan jaringan juvenile yang memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Heddy (1986), menyatakan bahwa jaringan nusellus merupakan jaringan meristematik yang kaya akan auksin sehingga tidak memerlukan tambahan auksin dari luar. Umur eksplan berpengaruh terhadap kemampuan eksplan tersebut untuk tumbuh dan beregenerasi. Umumnya eksplan yang berasal dari tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut.







IV. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan dapat diambil kesimpulan, yaitu:
a. Eksplan biji jeruk yang meperlihatkan perkembangan yang cepat adalah eksplan pada biji yang dibersihkan kulit bijinya.
b. Pada biji jeruk yang masih terdapat kulit bijinya pertumbuhan lambat terjadi, hal ini dikarenakan kulit biji menghambat penyerapan unsur hara dan mineral yang penting untuk perkembangan.
c. Tingkat keberhasilan kultur jaringan ditentukan oleh bagian tanaman yang digunakan, medium yang digunakan serta pemberian zat pengatur tumbuh.

4.2 Saran
Pada praktikan disarankan agar lebih hati – hati dalam melakukan penanaman serta sesuai dengan petunujuk agar tidak terjadi kontaminan yang dapat mengakibatkan kegagalan dari praktikum.












DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 1985. Dasar – Dasar Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa: Bandung

Asmirda. 1993. Respon Pertumbuhan Potongan Jaringan Daun Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia) pada Medium Murashige dan Skoog dengan Penambahan 2,4 – D, NAA dan BA. Tesis Sarjana Biologi Universitas ANdalas: Padang

Bhojwani, s.s and M. K. Razdan. 1983. Plant Tissue Cultur Theori and Practices. Elvisier Science Publishing Company Inc: New York

Dixon, R. A and R. A. Gonzales. 1994. Plant cell Culture. Apractical Approach Second Edition. Oxford University Press: Oxford.

George, E.F and P. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Hand Book and Directory of Commercial Aplication. Academik Press: New York

Gunawan, I.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laborartorium Kultur Jaringan PAU. Bioteknologi. IPB: Bogor

Gunawan, I.W. 1995. Teknik In vitro Dalam Hortikultura. Penerbit Swadaya: Jakarta

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuh. Grafindo Persada: Jakarta

Hendaryono, D.P.S dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur jaringan Perbanyakan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif. Kanisius: Yogyakarta

Jumin, H.B. 1997. Perkembangan Baru Dalam Breeding Citrus Suatu Tinjauan Bioteknologi. UIR Press. Pekanbaru.

Krishnamoorthy. 1981. Plant Growth Substances. Application dan Agriculture. Tata M.C. Graw Hill Book Co. New York

Mariska, I., 1987. Konsepsi pelestarian plasma nutfah dengan baikan in vitro. Edisi Khusus Littro 3 (1): 22 - 27.

Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martius Nijhoff Publisher. Dordrecht

Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 2003. Usaha Tani Jeruk Keprok. Aneka Ilmu. Semarang

Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Kanisius. Yogyakarta.

Wattimena, G.A. 1992. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan PAU Bioteknologi. IPB. Bogor

Willadsen, S.M. 1979. A method for culture of micromanipulated sheep embryos and its use to produce monozygotic twins. Nature, 277:298-300

Gnetika: Mitosis

I. Pendahuluan


Mitosis adalah pembelahan sel yang terjadi secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan pada pembelahan sel secara mitosis terdapat adanya tahapan – tahapan tertentu. Tahapan – tahapan (fase – fase) yang terdapat dalam pembelahan mitosis ini meliputi: profase, matafase, anaphase dan telofase.
Mitosis terjadi di dalam sel somatic yang bersifat meristematik, yaitusel – sel yang hidup terutama sel – sel yang tumbuh (ujung akar dan ujung batang). Proses pembelahan sel secara mitosis menghasilkan dua sel anak yang identik dan bertujuan untuk mempertahankan pasangan kromosom yang sama melalui pembelahan inti secara berturut – turut.
Mitosis pada tumbuhan terjadi selama mulaiu dari 30 menit sampai beberapa jam dan merupakan bagian dari suatu proses yang berputar dan terus menerus. Pada praktikum kali ini digunakan akar bawang merah (Allium cepa)karena jaringan akar bawang merah (Allium cepa) merupakan jaringan yang mudah ditelaah untuk pengamatan mitosis. Untuk itulah kami melakukan praktikum ini, agar fase – fase atau tahap – tahap pada pembelahan mitosis ini dapat kelihatan, mulai dari fase profase sampai pada fase telofase.
Kemampuan organisme untuk memproduksi jenisnya merupakan salah satu karakteristik yang paling bias membedakan antara makhluk hidup dan makhluk mati. Kemampuan yang unik untuk menghasilkan keturnan ini, seperti semua fungsi biologis memiliki dasar seluler (Campbell,1999)
Pada makhluk hidup tingkat tinggi, sel somatic sel tubuh, kecuali sel kelamin mengandung satu sel kromosom yang berasal dari induk betina bentuknya serupa dengan yang berasal dari induk betina. Maka sepasang kromosom tersebut disebut dengan kromosom homolog. Oleh karena itu jumlah kromosom dalam sel tubuh dinamakn diploid (2n). sel kelamin (gamet) hanya mengandung separuh dari jumlah kromosom yang terdapat dalam sel somatic, karena itu jumlah kromosom dalam gamet dinamakan haploid (n). satu sel kromosom haploid dari satu spesies dinamakan genom (Suryo,1996).
Masalah pokok mengenai reproduksi sel dapat dilihat lebih jelas pada organisme uniseluler. Satu sel khamir dtanamkan dalam medium yang sesuai akan segera menghasilkan beribu – ribu keturnan. Kecuali satu kebetulan yang kadang terjadi setiap sel dari keturunan ini akan bersifat sama dalam hal struktur dan fungsinya sebagaimana yang dimiliki sel pertama (Kimball,1998).
Transmisi kromosom dari sel induk ke sel – sel anak melalui mitosis adalah proses aseksual dimana satu sel induk dapat menghasilkan . melalui pembelahn – pembelahan mitosis berturut – turut, klon sel yang secara genetic identik. Pola perbanyakan sel vegetatif atau somatic semacam itu bertanggung jawab terhadap pertumbuhan organisme multiseluler dan untuk propagasi sendiri eukariota mempunyai cara transmisi kromosom meiosis seling, cara ini tidak dapat dipisahkan dari penggabungan dengan fase seksual dalam daur hidupnya yang didalamnya gen – gen dari dua induk yang berbeda berkumpul untuk menetap pada sel tunggal (Goodenough, 1984).
Semua makhluk hidup bersel banyak dan menbiak tergantung dari pembelahan sel. Meskipun setaip makhluk hidup terjadi mulai dari sebuah sel tunggal yang disebut zigot, akan tetapi poerbesaran dan perbanyakan dari sel tunggal itu sangat diperlukan agar makhluk itu mencapai ukuran yang semestinya. Pembelahan sel lengkap dibedakan atas dua proses yaitu: pembelahan inti sel (karyokinesis) dan pembelahan sitoplasma (sitokinesis). Makhluk yang membiak secara seksual mengenal dua macam pembelahan inti, yaitu pembelahan biasa (mitosis) dan pembelahan reduksi (meiosis) (Suryo,2001).
Dalam bidang genetika, mitosis adalah proses yang menghasilkan dua sel anak yang identik. Mitosis mempertahankan pasangan kromosom yang sama melalui pembelahan inti dari sel somatic secara berturut – turut. Proses ini terjadi secara bersama – sama dengan pembelahan sitoplasma dan bahan – bahan diluar inti sel (sitokinesis). Mitosis pada tanaman terjadi selama 30 menit – beberapa jam (Crowder,1997).
Menurut suryo (2001), pada mitosis bahan inti sel terbagi sedemikian rupa, sehingga Dario satu sel yang dihasilkan 2 buah anakan yang masing – masing memiliki sifat genetic sama. Mitosis berlangsung pada semua sel, kecuali pada sel – sel yang akan menjadi sel kelamin. Mitosis dibedakan atas 5 fase, yaitu: interfase, profase, metaphase, anaphase dan telofase.
Jaringan yang mudah untuk ditelaah mitosis adala meriostem pada titik tumbuh akar bawang. Mewarnai dengan zat pewarna yang sesuai akan tampak kromosom – kromosom dalam sel – sel yang membelah diri. Sel akar bawang yang baru terbentuk berisi 16 kromosom, 8 diantaranya pada mulanya disumbangkan oleh “bapak” tumbuhan bawang, yaitu tumbuhan yang menyediakan gamet jantan. Kromosom ini sering dinamai kromosom paternal. Sisa yang 8 lagi semulanya disumbangkan oleh induk bawang, yaitu7 bawang yang menghasilkan telur, inilah kromosom maternal. Untuk setiap kromosom maternal ada kromosom paternal yang amat mirip dengasn yang pertama tadi. Kromosom – kromosom yang sama ini merupakan pasangan homolog. Setiap anggota satu pasang kromosom homolog tertentu acap kali disebut homolog anggota lainnya pasangan tersebut (Kimball,1998).
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara membuat preparat mitosis serta untuk menentukan fase – fase atau tahap – tahap mitosis yang terjadi pada akar bawang (Allium cepa).























II. Pelaksanaan Praktikum


2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Pembelahan Mitosis dilaksanakan pada hari senin tanggal 9 November 2009 di Laboratorium Sitologi dan Genetika Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang.

2.2 Alat dan Bahan
Alat – alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah objek glass, cover glass, lampu spritus, tissue gulung, mikroskop dan alat – alat tulis. Bahan yang diperlukan adalah akar Allium cepa, larutan Carnoys, asam asetat, alkohol, Hcl 1N dan acetoocein.

2.3 Cara Kerja
Ujung akar dari bawang merah (Allium cepa) dipotong sekitar 0,5 cm. Kemudian dilakukan fiksasi pada jaringan yang diambil atau pematian sel secara tiba – tiba tapi strukturnya tidak berubah. Fiksasi ini dilakukan selama 15 menit sampai 48 jam. Kemudian jaringan dimaserasi (memisahkan sel dari lamela) dengan HCl 1N pada suhu 600 c. Selanjutnya jaringan diberi warna dengan acetoarcein dan dibiarkan selama 10 – 15 menit. Lalu, jaringan didestruksi dan dilakukan pengamatan dibawah mikroskop. Hasil yang didaptkan kemudian digambar.






III. Hasil dan Pembahasan


Mitosis merupakan proses terjadinya distribusi kromosom – kromosom secara sama rata pada dua sel baru yang terbentuk dari sel induk yang menghasilkan pembelahan (Fried, 2006). Empat tahapan mitosis yaitu : profase, metafase, anafase, telofase.
Berdasarkan pengamatan pembelahan sel pada ujung akar bawang didapatkan semua tahap – tahap pembelahan mitosis yaitu profase, metafase, anafase dan telofase.
Gambar fase – fase pembelahan sel pada ujung akar bawang





(a) (b)





(c) (d)
Keterangan: a) profase, b) metafase, c) Anafase, d) Telofase
Profase dimana tahapan pembelahan pertama, permulaan profase – profase kromosom menjadi lebih pendek dan tebal. Pada akhir profase mulai terbentuk benang – benang spindel/ gelendong inti pada masing – masing kutub sel, yang letaknya berlawanan. Akan tetapi dalam pengamatan ini tidak terlalu tampak benang – benang gelendong (Suryo,1997). Adapaun pada praktikum juga tidak terlihat memberan nukleus.
Setelah itu, kromosom mulai berkondensasi dan bergerak ke arah bidang equatorial (tengah) sel. Metafase dicirikan oleh barisan kromosom yang amat rapi sepanjang bidang equatorial (Fried, 2006). Pada tahapan ini sedikit terlihat adanya gambaran benang – benang spindelnya.
Fried (2006) menyatakan bahwa pada awal anafase sentromer – sentromer masing – masing kromosom berpisah, sehingga masing – masing kromatid kini berupa kromosom yang terpisah. Dengan dipandung oloeh serat gelendong yang melekat padanya. Satu kromatid dari setiap pasang digerakkan ke salah satu kutub, sementara kromatid yang satunya digerakkan ke kutub yang berlawanan. Pembelahan sentromer menurut Suryo (1997) dapat pula berlangsung pada permulaan anafase. Benang – benang gelendong ini memendek sehingga belahan sentromer masing – masing bergerak ke kutub sel yang berlawanan dengan membawa kromatid.
Telofase pada fase ini pembelahan telah selesai, terbentuk lagi dinding inti, dan hal ini terlihat dalam praktikum. Sel telah terbagi menjadi dua sel anakan, masing – masing memiliki inti yang mengandung 4 kromosom dengan bahan genetik yang sama dengan induknya (Suryo, 1997).
Pembelahan yang terus berlangsung pada akar bawang ini (Allium cepa) terjadi pada sel somatis (sel tubuh). Semua makhluk bersel banyak dan membiak secara seksual tergantung dari pembelahan sel. Meskipun setiap makhluk terjadi mulai dari sebuah sel tunggal yang disebut zigot, akan tetapi pembesaran dan perbanyakan dari sel tunggal itu sangat diperlukan agar makhluk itu mencapai ukuran yang semestinya. Pembelahan mitosis ini termasuk bagian dari pembelahan sel yang lengkap yaitu pembelahan inti sel yang disebut dengan karyokinesis (Suryo,1997).
Pada pengamatan pembelahan mitosis ini terlihat kromosom yang sama panjangnya. Menurut Suryo (1997) dua kromosom yang panjang adalah serupa satu sama lain, demikian pula yang pendek. Satu pasang kromosom yang serupa dinamakan kromosom homolog. Jadi sel yang mengandung 4 kromosom yang terlihat dalam praktikum ini memiliki dua pasang kromosom homolog.
Dalam praktikum tidak jelas pasti adanya fase interfase dimana Suryo (1997) menyatakan bahwa interfase merupakan fase pertama dari mitosis ini, dengan ciri – ciri ADN telah berlipat dua dan tiap kromosom membelah memanjang menjadi dua bagian yang sama masing – masing masih terikat oleh sebuah sentromer bersamaan. Belahan kromosom ini disebut kromatid.













IV. Kesimpulan dan Saran


4.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum kali ini adalah:
1. pada pengamatan mitosi ini ditemukan semua tahapannya berupa profase, metafase, anafase dan telofase.
2. adapun ciri dari tahapan – tahapan ini adalah: pada fase profase kromosom menjadi lebih pendek dan tebal, pada fase metafase kromosom bergerak menempatkan diri pada bidang equatorial, pada fase anafase kromosom memisah menuju kutub yang berlawanan dan pada fase telofase sel terbagi menjadi dua sel anakan.

4.2 Saran
Pada praktikum ini disarankan supaya praktikan melakukan dan mengerti cara kerja dengan baik sehingga praktikum dapat terselesaikan dengan segera, jika tidak maka praktikan akan sering untuk mengulang percobaan dikarenakan tidak tampaknya tahapan – tahapan mitosis ini.







DAFTAR PUSTAKA


Campbell. 1999. biologi jilid 1 edisi kelima. Erlangga: Jakarta
Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan. UGM Press: Yogyakarta
Fried, George. H. 2006. Schaum’s out Lines Biologi Edisi kedua. Erlangga: Jakarta
Goodenough, A. 1984. Probabilitas Variabel Random dan Proses Statistik. Gadjah Mada Unversity Press: Yogyakarta
Kimball. 1998. Biologi. Erlangga: Jakarta
Suryo. 1997. Genetika. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Suryo. 2001. Genetika Manusia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta

Bioteknologi Minuman: PENGARUH STARTER PADA FERMENTASI ALKOHOL PEMBUATAN ESSENCE

I. PENDAHULUAN


1.1 Landasan Teori
Durian ( Durio zibethinus Murr) merupakan salah satu hasil pertanian di Indonesia. Daging dari buah durian ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan, baik dimakan begitu saja atau diolah terlebih dahulu, karena daging buahnya yang enak, sedangkan biji dan kulitnya menjadi limbah (Setiadi, 1993). Bobot total buah durian terdiri dari tiga bagian, pertama adalah daging buah sekitar 20-35 %; kedua, biji sekitar 5-15 %; sisanya berupa bobot kulit mencapai 60-75 % dari bobot total buah (Untung, 1996). Nurlaili (1995) mengemukakan, bahwa biji durian mengandung karbohidrat sekitar 73,62 %, protein 12,62 %, dan lemak 0,36 %. Selanjutnya Untung (1996) melaporkan bahwa pada tahun 1992 luas areal penanaman durian di Indonesia mencapai 36,000 ha dengan total produksi 152.000 ton, sedangkan di Sumatera Barat menurut laporan kantor wilayah Departemen Pertanian dan Kantor Statistik tahun 1992 diproduksi 20.308 ton durian/tahun (Anonimous A, 1992).
Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh lama fermentasi (Reedm 1982 cit. Jusfah dan Nurhelmi, 1992) menghasilkan kadar protein 53,89 % dan 51,067 % masing-masing pada fermentasi hidrolisat limbah bungkil sawit dan biji karet oleh Candida utilis selama 96 jam inkubasi.
Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut di antaranya karbondioksida(CO2).(Ekowati,1998)
Penemuan cara fermentasi ini diawali dengan pembuatan bir sekira 6.000 tahun sebelum masehi. Selain itu pembuatan roti dengan bantuan khamir atau ragi sekira 4.000 tahun sebelum masehi (SM). Pembuatan produk fermentasi kecap dan tauco di Cina sejak 722 SM. Kira-kira abad ke-17 mulai berkembang fermentasi anggur menggunakan bakteri Acetobacter menghasilkan asam asetat (asam cuka). Lantas tahun 1817, mulai diproduksi enzim dari tumbuhan dan jaringan hewan yang dapat memecah zat pati menjadi gula maltose (diastase). Kemudian tahun 1860, suatu enzim dari khamir dapat memecahkan sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Hadioetomo,1983).
Akhirnya banyak penelitian yang dilakukan para ahli dan melahirkan istilah baru dari fermentasi yaitu reaksi oksidasi-reduksi, di mana zat yang dioksidasi (pemberi elektron) maupun zat yang direduksi (penerima elektron) adalah zat organik dengan melibatkan mikroorganisme (bakteri, kapang dan ragi). Zat organik yang digunakan umumnya glukosa yang dipecah menjadi aldehida,alkoholatauasam.
Untuk melakukan metabolisme, mikroorganisme membutuhkan sumber energi berupa karbohidrat, protein, lemak, mineral dan zat-zat gizi yang terdapat dalam bahan pangan. Dalam proses fermentasi tampaknya mikroorganisme pertama kali akan menyerang karbohidrat, kemudian protein dan selanjutnya lemak. Bahkan terjadi tingkatan penyerangan terhadap karbohidrat yaitu terhadap gula, kemudian alkohol. Baru setelah itu terhadap asam (Priani, 2003).
Fermentasi terbagi dua tipe berdasarkan tipe kebutuhan akan oksigen yaitu tipe aerobik dan anaerobik. Tipe aerobik adalah fermentasi yang pada prosesnya memerlukan oksigen. Semua organisme untuk hidupnya memerlukan sumber energi yang diperoleh dari hasil metabolisme bahan pangan, di mana organisme itu berada. Mikroorganisme adalah organisme yang memerlukan energi tersebut. Bahan energi yang paling banyak digunakan mikroorganisme untuk tumbuh adalah glukosa. Dengan adanya oksigen maka mikroorganisme dapat mencerna glukosa menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi (Schlegel, 1994).
Sedangkan tipe anaerobik adalah fermentasi yang pada prosesnya tidak memerlukan oksigen. Beberapa mikroorganisme dapat mencerna bahan energinya tanpa adanya oksigen. Jadi hanya sebagian bahan energi itu dipecah, yang dihasilkan adalah sebagian dari energi, karbondioksida dan air, termasuk sejumlah asam laktat, asetat, etanol, asam volatile, alkohol dan ester (Schlegel, 1994).
Fermentasi ialah proses baik secara aerob maupun anaerob yang menghasilkan berbagai produk yang melibatkan aktivitas mikroba atau ekstraknya dengan aktivitas mikroba terkontrol (Darwis dan Sukara, 1989). Fermentasi merupakan proses yang telah lama dikenal manusia. Fermentasi adalah proses untuk mengubah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia, seperti fermentasi susu kambing, unta yang terjadi di Sumaria dan Babilonia pada jaman Mesopo-tamia. Hingga saat ini, proses ferementasi telah mengalami perbaikanperbaikan dari segi proses sehingga dihasilkan produk fermentasi yang lebih baik (Schlegel, 1994).

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan proses fermentasi alkohol pembuatan essence secara spontan, dengan menggunakan fermipan, dan burgund.











II. PROSEDUR KERJA


2.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada bulan November 2009 di Laboratorium Mikrobiologi dan Mikologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang.

2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah botol, mikro pipet, tutup gabus, timbangan, alat tulis, baskom kecil, saringan dan bahan yang digunakan adalah durian yang telah dilumatkan, fermipan, burgund, air,

2.3. Cara Kerja
Siapkan durian yang dagingnya telah dilumatkan . kemudian diencerkan daging durian yang telah dilumatkna tadi dengan sedikit air lalu diperas dan disaring. Stelah itu siapkan 3 buah botol yang bersih dan diberi label tempel. Kemudian daging duarian yang telah disaring dimasukkan kedalam setiap botol sama banyak. Botol pertama langsung ditutup atau sebagai kontrol. Botol kedua ditambah dengan burgund lalu ditutup dengan tutup fermentasi. Kemudian botol ketiga ditambahkan dengan fermipan dan ditutup dengan tutup fermentasi. Kemudian biarkan selama 2 minggu, setiap hari dihitung berat dari ketiga botol. Stetlah dua minggu sampel yang terdapat dalam masing – masing botol didestilasi untuk mendapatkan alkoholnya dan untuk membedakan aroma dari ketiga botol tersebut.



III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 1. pengamatan fermentasi alkohol pembuatan essence :
Fermentasi 23 November 2009 25 November 2009 26 November 2009 Keterangan
Spontan 239,1 gram 238,7 gram 238,7 gram Baunya kurang pekat dan aroma duriannya tidak terlalu terasa
Burgund 221,9 gram 220 gram 220,8 gram Aroma duriannya sudah mulai terasa, namun belum begitu pekat
Fermipan 211,7 gram 211,5 gram 211 gram Aroma duriannya lebih bagus dibandingkan dengan kedua perlakuan diatas.

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa ada 3 variabel perlakuan yaitu pembuatan essence dengan pemberian burgund, fermipan, dan dengan fermentasi yang tidak diberi perlakuan sama sekali (secara spontan). Untuk fermentasi secara spontan pada tanggal 23 November beratnya 239,1 gram, 25 November 238,7 gram, 26 November 238,7 gram. Untuk fermentasi yang diberi burgund secara berturut beratnya 221,9 gram, 220 gram, 220,8 gram, sedangkan untuk fermentasi yang diberi fermipan beratnya 211,7 gram, 211, 5 gram, dan 211 gram. Hasil dari praktikum menunjukkan bahwa pada proses fermentasi alkohol akan terjadi pengurangan berat, hal ini dikarenakan pada fermentasi alkohol akan dihasilkan gas sehingga hal ini menyebabkan beratnya berkurang.
Pada fermentasi alkohol kita menggunakan fermipan yang didalamnya terdapat khamir/ragi. Ragi dapat menghasilkan gas asam arang atau karbon dioksida dan sedikit alkohol. Kombinasi karbon dioksida dengan sedikit alkohol itulah yang menciptakan rasa alkohol dan soda dari minuman yang akan kita buat nantinya. Banyak sedikitnya alkohol pada minuman hasil fermentasi sangat dipengaruhi oleh bahan baku, jenis mikroba starter, dan lama fermentasi. Ragi dapat merombak pati menjadi glukosa yang pada akhirnya menghasilkan alcohol
Mikroorganisme dapat dipandang sebagai suatu pabrik kimia yang mempunyai kemampuan yang sangat beragam dalam menciptakan perubahan-perubahan kimiawi. Telah diterima secara umum bahwa setiap substansi alamiah dapat diubah oleh beberapa spesies mikroorganisme. Apabila dijumpai bahwa suatu proses mikrobial ternyata menghasilkan suatu produk yang diperlukan dan mempunyai nilai ekonomis, maka proses ini dapat dikembangkan untuk produksi industri. Dalam hal ini kita mencoba menggunakan mikroorganisme untukkeuntungan ekonomi dan sosial (Handayani, 2000).
Mikroorganisme mampu merombak banyak sekali bahan karena kemampuan biokimiawinya yang beragam. Industri, yang senantiasa menyadari hal ini, mencoba mengembangkan produk-produk yang resisten terhadap perusakan untuk menghindari k erugian ekonomis dan kerugian-kerugian lainnya. Tidak perlu diragukan lagi, akan ditemukan banyak cara baru untuk memamfaatkan mikroorganisme untuk dikembangkan di dalam proses-proses industri. Bidang-bidang penerapannya meliputi usaha mendapatkan logam dari bijih, pengubahan tumbuh-tumbuhan menjadi sumber energi untuk kepentingan domestik, produksi masal protein sel tunggal sebagai sumber makanan bagi manusia dan hewan (Lindquist,1998).
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik .Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya (Tripetchkul, Tonokawa dan Ishizaki,1992).
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan (Anonimous B, 2009)
Persamaan Reaksi Kimia
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi (ATP)
Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang terlibat, tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awal respirasi aerobik pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan (Anonimous B, 2009).
Fermentasi dibedakan atas 3 macam, yaitu fermentasi asam laktat, fermentasi alkohol, dan fermentasi asam cuka. Beberapa organisme seperti Saccharomyces dapat hidup, baik dalam kondisi lingkungan cukup oksigen maupun kurang oksigen. Organisme yang demikian disebut aerob fakultatif. Dalam keadaan cukup oksigen, Saccharomyces akan melakukan respirasi biasa. Akan tetapi, jika dalam keadaan lingkungan kurang oksigen Saccharomyces akan melakukan fermentasi. Dalam keadaan anaerob, asam piruvat yang dihasilkan oleh proses glikolisis akan diubah menjadi asam asetat dan CO2. Selanjutnya, asam asetat diubah menjadi alkohol. Proses perubahan asam asetat menjadi alkohol tersebut diikuti pula dengan perubahan NADH menjadi NAD+. Dengan terbentuknya NAD+, peristiwa glikolisis dapat terjadi lagi. Dalam fermentasi alkohol ini, dari satu mol glukosa hanya dapat dihasilkan 2 molekul ATP. Sebagaimana halnya fermentasi asam laktat, reaksi ini merupakan suatu pemborosan. Sebagian besar dari energi yang terkandung di dalam glukosa masih terdapat di dalam etanol, karena itu etanol sering dipakai sebagai bahan bakar mesin. Reaksi ini, seperti fermentasi asam laktat, juga berbahaya. Ragi dapat meracuni dirinya sendiri jika konsentrasi etanol mencapai 13% (Hal ini menjelaskan kadar maksimum alkohol pada minuman hasil fermentasi seperti anggur) (Iida, Izumida, Akagi dan Sakamoto,1993).
Pada beberapa mikroba peristiwa pembebasan energi terlaksana karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat + CO2 selanjutaya asam asetat diabah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP, bandingkan dengan respirasi aerob, satu molekul glukosa mampu menghasilkan 38 molekul ATP (Bourbonnais and Paice,1990).
Reaksinya:
1. Gula (C6H12O6) ————> asam piruvat (glikolisis)

2. Dekarbeksilasi asam piruvat.

Asampiruvat ————————————————————> asetaldehid + CO2.
piruvat dekarboksilase (CH3CHO)

3.Asetaldehid oleh alkohol dihidrogenase diubah menjadi alkohol
(etanol).
2 CH3CHO + 2 NADH2 2 C2HsOH + 2 NAD.
alkohol dehidrogenase enzim

Ringkasan reaksi :

C6H12O6 —————> 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 NADH2 + Energi
CO2 NADH NAD+ Asam piruvat …………….. asetaldehid ………………. Etil alcohol
Alkohol diperoleh melalui proses fermentasi. Dahulu diduga bahwa proses fermentasi alkohol adalah perubahan satu molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2, sehingga diketahui bahwa proses situ cukup kompleks. Merupakan suatu rangkaian enzimatik dan hasil dari fermentasinya terdiri atas bermacam – macam senyawa dengan etanol dan CO2 terbanyak. Alkohol terkandung dalam minuman keras seperti etanol (CH3CH2-OH) yang diperleh dari prose fermentasi (Brock,& Madigan, 1991).
Kadar alkohol hasil fermentasi lebih dari 15 %, Untuk mendapatkan lebih inggi dibuat melalui penyulingan. Reaksi yang terjadi pada fermentasi alkohol secara anaerob adalah: C6H12O6--- 2C2H5OH + 2CO2 + 56 kkal (Prakasham, dan Ramakrishna,998). Senyawa alkohol sering ditemukan dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari – hari seperti dalam industri, kosmetik, minuman.
Fermentasi khamir digunakan untuk menghasilkan alkohol. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan disesuaikan menjadi antara 10 sampai 13 persen dan kemudian diberikan pada bakteri asam asetat (Palmqvist, 1998).
Setelah air, alkohol merupakan zat pelarut dan bahan dasar paling umum yang digunakan di laboratorium dan di dalam industri kimia. Aspek-aspek mikrobiologis dalam proses pembuatan etil alkohol dapat dirangkumkan sebagai berikut :
Substrat : etil alkohol dapat dibuat dari karbohidrat apa saja yang dapat di fermentasi oleh khamir. Apabila pati-patian seperti jagung dan karbohidrat kompleks yang lain dipergunakan sebagai bahan mentah, maka pertama-tama bahan dasar tersebut perlu dihidrolisis menjadi gula sederhana yang dapat difermentasikan. Hidrolisis tersebut dapat dilakukan dengan bantuan enzim dari kapang atau jenis pensuplai karbohidrat yang digunakan seperti : jagung, bit gula, kentang, beras dan buah anggur (Lee, Ha, Kang, McAllister and Cheng, 1997).
Mikroorganisme yang berperan adalah dari galur-galur terpelih Saccharomyces cereviceae. Kultur yang dipilih harus dapat tumbuh dengan baik dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap alkohol serta mampu menghasilkan alkohol dalam jumlah banyak (Lee, Ha, Kang, McAllister and Cheng, 1997).


IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Selama fermentasi berat masing – masing sampel berkurang karenaadanya gas CO2 yang dihasilkan.
2. essence yang menghasilkan aroma terbaik adalah essence yang diberi perlakuan dengan fermipan.
3. proses fermentasi ini dilakukan oleh yeast.
4. yeast merubah karbohidrat menjadi alkohol dan asam asetat.

4.2 Saran
Dari praktikum yang telah dilaksanakan diharapkan pada praktikan agar melakukan praktikum dengan serius agar didapatkan hasil yang maksimal.










DAFTAR PUSTAKA


Anonimous A, 2009. Sambal Tempoyak Durian Yang Telah Difermentasikan. http://www.vivaborneo.com/sambal-tempoyak-durian-yang-telah-difermentasi.htm. 20 Januari 2010
Anonimous B, 2009. Bioteknologi Fermentasi. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/bioteknologi-fermentasi/. 20 Januari 2010
Bourbonnais R, and Paice M. 1990. Oxidation of non-phenolic substrates. An expanded role of laccases in lignin biodegration. FEBS lett. 267, pp. 99-102
Brock, TD & MT Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Sixth edition. “Prentice Hall’ Englewood Cliffs, New Jersey
Ekowati, ChN. 1998. Suksesi Mikroba dan Pembentukan Asam Organik pada Fermentasi Buah Durian (Durio Zibethinus Murr.). Thesis Program Pasca Sarjana. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Handayani, M. 2000. Uji Aktivitas Isolat Bakteri Asam Laktat dari Fermentasi Ekstrak Buah Durian (Durio zibethinus Murr.). Skripsi FMIPA. Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Hadioetomo, R. S. (1983), “Mikrobiologi dalam Praktek; Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium”, Bagian Mikrobiologi,FMIPA, IPB.
Iida, T., Izumida, H., Akagi, Y. dan Sakamoto, M. (1993), ”Continuous Ethanol Fermentation in Molasses medium Using Z. mobilis Immobilized in Photo-crosslinkable Resin Gels”, Journal of Fermentation and Bioengineering, Vol. 75, No. 1, 32-35.
Lee, S. S., J. K. Ha, H. S. Kang, T. McAllister, and K.-J. Cheng. 1997. Overview of energy metabolism, substrate utilization and fermentation characteristics of ruminal anaerobic fungi. Korean J. Anim. Nutr. Feedstuffs 21:295–314.
Lindquist, J. 1998. General Overview of The Lactic Acid Bacteria. Departement of Bacteriology, University of Wisconsin. Madison. Food Science (324), 102.
Palmqvist, E. 1998. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates: inhibation and detoxification. Doctoral thesis, Lund University, Lund, Sweden.
Prakasham, R.S. dan Ramakrishna, S. V. (1998), Microbial fermentations with immobilized cells, Lecture Handouts, Biochemical and Environmental Engineering, Indian Institute of Chemical Technology, India.
Priani, Nunuk. 2003. Metabolisme Bakteri. http://www.iptek.net.id/ind/pd tanobat/view.php?mnu=2&id=251. 20 JAnuari 2010-01-27
Schlegel, HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tamime, A.Y. and R.K. Robinson. 1999. Yoghurt: Science and technology. 2nd
Tripetchkul, S., Tonokawa, M., dan Ishizaki, A. (1992), “ Ethanol Production by Zymomonas mobilis Using Natural Rubber Waste as a Nutritional Source”, Journal Fermentation and Bioengineering, Vol. 74, No.6, 384-388.

PENGARUH STARTER Saccharomyces cerevisiae TERHADAP PEMBENTUKAN ALKOHOL

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Semangka (Citrullus vulgaris, Schard) adalah tanaman yang berasal dari Afrika kemudian menyebar ke India dan Cina. Pada saat ini tanaman semangka penyebarannya lebih luas lagi yaitu meliputi daerah sub tropik dan tropik sebagai komoditi penting yang bernilai ekonomis (Rukmana, 1994).
Produksi buah semangka Indonesia pada tahun 1992 sebagai 299.344 ton. Selanjutnya Nuswamarhaeni, Prihatini dan Pohan (1995) menyatakan bahwa pada saat ini produksi buah , semangka Indonesia sebanyak 10-20 ton/ha tiap tahunnya.
Buah semangka memiliki buah simpan yang cukup pendek, yaitu 7-10 hari setelah panen. Banyaknya produksi buah semangka, masa simpan yang cukup pendek serta terlalu lama dipasaran menyebabkan buah ini akan cepat hancur (rusak) pada bagian dalam, hal ini dapat pula menyebabkan pencemaran lingkungan serta merupakan sumber penyebaran dari berbagai macam penyakit. Salah satu alternative untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan penerapan bioteknologi, sehingga dapat dihasilkan produk baru yang mempunyai nilai tambah.
Adapun komposisi dari buah semangka dalam 100 g bahan adalah : air 92,10 %, kalori 28,00 kal, protein 0,5 g, lemak 0,20 g, karbohidrat 6,90 g, kalsium 7,00 mg, vitamin A 590 SI, vitamin B 0,05 mg, vitamin C 6,00 mg (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Indonesia cit. Rukmana, 1994).
Berdasarkan komposisi dari buah semangka tersebut, maka buah ini dapat digunakan sebagai bahan dasar (substrat) dalam fermentasi alkohol. Suriawiria (1986) menyatakan bahwa untuk proses fermentasi alkohol sering digunakan berbagai sumber energi seperti :
1. Berbagai jenis gula, seperti gula tebu, gula bit, molase dari sari buah.
2. Berbentuk pati, seperti pati dari serealea, umbi-umbian.
3. Berbentuk selulose, seperti serbuk gergaji.
Dalam proses fermentasi,salah satu faktor yang menetukan adalah starter sebelum gula difermentasi menjadi alkohol oleh khamir terlebih dahulu dibuat starter yang bertujuan untuk memperbanyak dan untuk memudahkan khamir beradaptasi dengan bahan fermentasi. Lamanya waktu inkubasi untuk starter bias aktif sekitar 24 jam (Departemen Perindustrian, 1977). Pemberian jumlah starter yang tepat sangat menentukan produk alkohol yang dihasilkan seperti yang dinyatakan oleh Periadnadi (1985) bahwa fermentasi terhadap nila aren dengan menggunakan dosis starter 7,5 ml S. cerevisiae dalam 100 ml bahan fermentasi menghasilkan kadar alkohol yaitu 12,3 % dalam waktu 14 hari, sedangkan Kusumawati (1985) dengan menggunakan sari buah nenas dengan dosis starter 10 ml S. cerevisiae dalam 100 ml bahan fermentasi dengan lama fermentasi 14 hari mendapatkan kadar alkohol 9,07 %. Selanjutnya Ratni (1990) menyatakan bahwa dengan dosis starter 10 ml S. cerevisiae dalam 100 ml dengan lama fermentasi 14 hari mendapatkan kadar alkohol 8,86 % dengan bahan baku sari jahe. Begitu juga dengan Jusfah (1990) dengan menggunakan dosis starter 2,5 g S. cerevisiae dalam 100 ml bahan fermentasi mendapatkan kadar alkohol yang tinggi yaitu 12,03 % dengan menggunakan bahan baku batang pisang dengan lama fermentasi 72 jam.
Dari uraian di atas diketahui bahwa dosis starter dan lama fermentasi berpengaruh terhadap alkohol yang dihasilkan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini akan membahas tentang :
1. Bagaimana kemampuan dari Saccharomyces cerevisiae menghasilakn alkohol dengan menggunakan kulit semangka sebagai medianya.
2. Bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi S. cerevisiae sebanyak 2,5 gr, 5 gr, 7,5 gr , dan 10 gr dari 97,5 ml, 95 ml, 92,5 ml, dan 90 ml pati kulit semangka terhadap kaar alkohol.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kemampuan dari S.cerevisiae dalam menghasilkan alkohol dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada media kulit semangka.
2. Untuk melihat kemampuan dari S.cerevisiae dalam merubah karbohidat yang terkandung dalam kulit semangka menjadi alkohol.
1.4 Masalah
Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan pengetahuan umum bagi seluruh masyarakat, bahwa kulit semangka dapat bernilai ekonomis dengan penerapan bioteknologi.
1.5 Hipotesa
Semakin tinggi konsentrasi S. cerevisiae maka semakin tinggi kadar alkohol yang dihasilkan, tetapi volumenya semakin rendah.



II. TINJAUAN PUSTAKA

Semangka merupakan salah satu buah yang berkhasiat. Semangka berasal dari daerah tropik dan subtropik Afrika. Tumbuh liar di tepi jalan, padang belukar, pantai laut, atau ditanam di kebun dan pekarangan sebagai tanaman buah. Semangka dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 1.000 m dpl. Terna semusim ini tumbuh menjalar di atas tanah atau memanjat dengan sulur-sulur atau alat pembelit. Batang lunak, bersegi dan berambut, panjangnya 1,5--5 m. Sulur tumbuh dari ketiak daun, bercabang 2--3. Daun letak berseling, bertangkai, helaian daun lebar dan berbulu, berbagi menjari, dengan ujung runcing, panjang 3--25 cm, lebar 1,5--15 cm, tepi bergelombang, kadang bergigi tidak teratur, permukaan bawah berambut rapat pada tulangnya. Bunga uniseksual, keluar dari ketiak daun, tunggal, biasanya bunga jantan lebih banyak, berbentuk lonceng lebar, warnanya kuning, mekar pada pagi hari. Buah berbentuk bola sampai bulat memanjang, besar bervariasi dengan panjang 20--30 cm, diameter 15--20 cm, dengan berat mulai dari 4 kg sampai 20 kg (Anonimous, 2010).
Kulit buahnya tebal dan berdaging, licin, warnanya bermacam-macam seperti hijau tua, kuning agak putih, atau hijau muda bergaris-garis putih. Daging buah warnanya merah, merah muda (pink), jingga (oranye), kuning, bahkan ada yang putih. Biji bentuk memanjang, pipih, warnanya hitam, putih, kuning, atau cokelat kemerahan. Ada juga yang tanpa biji (seedless). Biji yang sudah diolah disebut kuaci. Cara membuatnya, kumpulkan biji, lalu jemur dan sangrai. Setelah dingin, rendam dalam air garam seharian, lalu jemur kembali di panas matahari. Semangka selain dimakan sebagai buah segar juga dapat diminum sebagai jus (Anonimous, 2010).
Daging buah semangka rendah kalori dan mengandung air sebanyak 93,4%, protein 0,5%, karbohidrat 5,3%, lemak 0,1%, serat 0,2%, abu 0,5%, dan vitamin (A, B dan C). Selain itu, juga mengandung asam amino sitrullin (C6H13N3O3), asam aminoasetat, asam malat, asam fosfat, arginin, betain, likopen (C4O5H6), karoten, bromin, natrium, kalium, silvit, lisin, fruktosa, dekstrosa, dan sukrosa. Kulit semangka mengandung klorofil yang baik untuk kelenjar dan darah (Anonymous, 2010).
Rumus kimia klorofil yg terdapat pd kulit semangka yaitu C55H70O6N4Mg.
Berarti dalm kulit semangka terkandung unsur C, H, O, N dan Mg. Kulit buah semangka yang kaya akan unsure H. C, O, N dan Mg dapat didaur ulang menjadi alkohol yang difermentasi oleh jamur Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae telah lama digunakan dalam industri alkohol dan minuman beralkohol sebab memiliki kemampuan dalam memfermentasi glukosa menjadi ethanol. Hal yang menarik adalah proses fermentasi ethanol pada khamir tersebut berlangsung pada kondisi aerob (Francois dan Hers, 1984).
Kulit buah semangka kaya akan Ligniselulosa. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zatekstraktif, dan senyawa organik lainnya. Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol (Castello dan Chum, 1998).
Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industri etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida (HCl). Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap lingkungan. Kemudian setelah proses hidrolisis dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian dan Fermentation (SSF) (Lee, Kang, McAllister, and Cheng. 1997).
Selain Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis juga sangat potensial, namun bakteri ini perlu dikembangkan lebih lanjut, karena toleransinya yang rendah terhadap garam dalam media dan membutuhkan media yang steril, sehingga menyulitkan untuk aplikasi skala industri (Iida, dkk., 1993; Saroso, 1998; Hepworth, 2005). Oleh karena itu Ragi (Saccharomyces cerevisiae) adalah mikroorganisme penghasil etanol yang paling dikenal saat ini. Efisiensi fermentasi dapat ditingkatkan dengan cara mengamobilisasi sel mikroorganisme yang digunakan. Amobilisasi sel bertujuan untuk membuat sel menjadi tidak bergerak atau berkurang ruang geraknya sehingga sel menjadi terhambat pertumbuhannya dan subtrat yang diberikan hanya digunakan untuk menghasilkan produk.
Material pendukung yang berupa sistem matriks, membran atau permukaan zat padat tertentu biasa digunakan sebagai carrier dalam amobilisasi sel. Sistem matriks untuk amobilisasi sel biasanya menggunakan gel polimer hidrofilik molekular tinggi seperti alginat, carragenan dan Agarosa. Dengan bahan ini, sel-sel diamobilisasi dengan cara penjebakan dalam gel yang bersangkutan (Prakasham dan Ramakrishna, 1998).
Mikroorganisme memiliki karakteristik dinding sel yang berbeda satu sama lain Perbedaan ini mempengaruhi efektifitas mobilisasinya pada berbagai bahan pendukung Suatu bahan pendukung tertentu dapa memberikan kualitas amobilisasi yang lebih baik dibandingkan bahan pendukung lain karena lebih cocok dengan sel yang diamobilisasi, misalnya kesesuaian jumlah gugus hidrofil antara bahan pendukung dan sel. Pada umumnya sel S. cerevisiae diamobilisasi dengan metode entrapping menggunakan matriks polisakarida. (Dias, dkk.2000).
Fermentasi atau biasa juga disebut dengan peragian, merupakam proses biokimia dimana terjadi perubahan kimia dari zat organik. Perubahan ini terjadi jika mikroorganisme penyebab fermentasi bereaksi dengan substrat organik yang sesuai dengan pertumbuhannya (Buckle, 1985).
Mulyarni (1977) menyatakan bahwa fermentasi adalah suatu proses pengolahan makanan dan minuman dengan bantuan mikroorganisme, yang telah dikenal sejak dulu kala. Akibar dari fermentasi, bahan pangan akan mengalami perubahan dalam sifat-sifatnya sehingga akan didapatkan suatu produk baru yang mana rasa serta aromanya telah berubah sama sekali dari bahan dasarnya. Prinsip dasar dari pengolahan makanan dan minuman dengan fermentasi sebenarnya adalah dengan mengaktifkan pertumbuhan dan metabolism mikroorganisme tertentu serta menekan pertumbuhan mikroorganisme lainnya yang tidak dibutuhkan.
Pada fermentasi terjadi proses pembebasan energy dari komponen organic dengan adanya reseptor hydrogen dan electron, selama proses fermentasi berlangsung atom hydrogen akan hilang dan electron komponen akan direduksi, electron tersebut akan membawa koenzim yang akan membentuk vitamin-vitamin (Ayres, 1980). Selanjutnya Ayres. (1980) menyatakan bahwa proses fermentasi merupaka proses respirasi yang disebut dengan proses oksidasi biologikal.
Frazier dan Westhiff (1978) menerangkan bahwa proses peragian (fermentasi) dapat dibedakan atas 2 (dua) tingkatan, yaitu :
1. Peragian tingkat pertama, berlangsung dalam keadaan aerob (adanya O2) yang terlarut dan O2 di permukaan, yang berfungsi untuk memperbanyak ragi (khamir) yang ditandai dengan timbulnya gas asam arang, dengan reaksi :
khamir
C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 36 ATP
Pada proses peragian (fermentasi) tingkat pertama ini tidak ada atau sedikit sekali alkohol yang dihasilkan.
2. Peragian (fermentasi) berlangsung dalam keadaan anaerob. Pada tahap ini khamir dan enzim yang dihasilkan sudah cukup banyak, sehingga akan berlangsung fermentasi alkohol sampai sebagian atau seluruh gula dirobah menjadi alkohol, dengan reaksi :
khamir
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2ATP
Alkohol yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi) dapat digunakan dalam berbagai keperluan antara lain : sebagai pelarut, disinfektan, sebagai bahan baku industri kimia, bahan bakar dan sebagai bahan minuman (Suriawaria, 1986). Pelczer (1988) menyatakan bahwa alkohol merupakan sumber energy yang dapat digunakan sebagai campuran bahan bakar konvensional, seperti gasohol.
III. PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2010 sampa selesai. Proses fermentasi alkohol dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Mikrobiologi Jurusan Biologi dan pengujian kadar alkohol dilakukan di Laboratorium Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuam Alam, Universitas Andalas, Padang.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode Eksperimen, dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), 4 perlakuan dengan 6 kali ulangan.
Perlakuan : a. Konsentrasi S. cerevisiae 2,5 gr
b. Konsentrasi S. cerevisiae 5 gr
c. Konsentrasi S. cerevisiae 7,5 gr
d. Konsentrasi S. cerevisiae 10 gr
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, panic, blender, saringan, sendok, botol selai, timbangan neraca, satu set alat Destilasi, lampu spiritus, erlemeyer, gelas ukur, pipet tetes, Piknometer, corong, kapas, beker glass, spiritus, tabung reaksi, pipet isap, mikroskop, refraktomer, kertas tissue, ayakan, kertas PH, aluminium foil.




3.3.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : kulit semangka, aquadest, ragi instan Saccharomyces cerevisiae, batu didih, NaOH 2 N, HCl 1 N, MgSO4 . 7H2O 0,6 gr, K2HPO4 0,3 gr, glukosa 30 gr dan (NH4)2SO4 0,6 gr.
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Penyediaan Kulit Semangka
Kulit semangka dipisahkan dari isinya, lalu dipotong-potong kecil dan keringkan dibawah sinar matahari hingga warnanya hijau muda dank eras sperti kerupuk, kemudian kulit semangka yang sudah kering tersebut diblender hingga menjadi bubuk dan diayak sampai mendapatkan 700 gr.
3.4.2 Penyediaan Ragi Saccharomyces cerevisiae
Ragi yang digunakan dalam pembuatan alkohol dari kulit semangka ini adalah instan Saccharomyces cerevisiae (ragi permifan) yang dapat langsung digunakan tanpa pembuatan medium kultur.
3.4.3 Hidrolisa Kimia
Bubuk kulit semangka dihidrolisa dengan HCl 2 N sebanyak 400 mil untuk 60 gr bubuk kulit semangka. Untuk mempercepat proses hidrolisa, bahan dipanaskan pada plat pemanas selama 4 jam. Kemudian larutan disaring dan dinetralkan dengan penambahan NaOH 1 N sampai PH 6. Bahan yang telah mengalami hidrolisa diukur kadar gulanya.
3.4.4 Fermentasi
Untuk masing-masing perlakuan dosis ragi dibuat dengan cara mengambil masing-masing 1000 ml ekstrak kulit semangka kemudian dimasukkan aktifator : 0,6 gr (NH4)2SO4, 0,6 gr MgSO4 . 7H2O, 0,3 gr K2HPO4 dan 30 gr glukosa. Setelah itu masukkan kedalam 24 botol selai masing-masing sesuai perlakuannya. Setelah itu di sterilkan dalam Autoclave pada suhu 1250C dan tekanan 15 lbs. Kemudian didinginkan dan setelah itu diberi perlakuan perbedaan dosis ragi untuk setiap 6 botol selai yaitu dengan konsentrasi Saccharomyces cerevisiae 2,5 gr, 5 gr, 7,5 gr, dan 10 gr. Lalu diinkubasi selama 3 hari.
a. Penentuan kadar gula
Kadar gula awal dan akhir diukur dengan menggunakan alat refraktometer. Prisma refraktometer dibersihkan dengan air dan dikeringkan dengan kertas tissue. Diteteskan 1 - 2 tetes pada permukaan prisma objek dan ditutup rapat dengan penutupnya. Diarahkan refraktometer kea rah datangnya sinar, lalu diatur pandangan sehingga pada lensa okuler akan terlihat dengan jelas batas antara gelap dan terang skala yang terbaca pada daerah tersebut adalah kadar gula dari sampel yang dianalisa.
b. Penentuan PH awal dan akhir
Penentuan PH awal dan akhir dilakukan dengan menggunakan kertas PH. Kertas PH dimasukkan ke dalam sampel kemudian dicocokkan pada skala PH, sehingga PH sampel didapatkan, dimana PH awalnya sekitar 6-7.
3.4.5 Pengamatan dalam menentukan kadar alkohol
Kadar alkohol dihitung setelah Fermentasi berlangsung. Penentuan kadar alkohol yaitu dengan menggnakan destilasi dan penentuan bobot jenis hasil dari destilasi tersebut. Ambil sampel sebanyak 50 ml. lalu masukkan ke dalam labu destilasi kemudian ditambahkan air dengan volume yang sama. Destilasi campuran tersebut, sehingga didaptkan hasil destilasi 4 ml kurang dari volume yang di masukkan , lalu tambahkan 4 ml air ke dalam hasil destilasi tersebut. Suhu selama proses destilasi harus konstan maka untuk itu perlu ditambahkan batu didih ked ala labu destilasi. Hasil destilasi ditimbang dalam piknometer (botol penimbang). Bobot jenis alkohol ditentukan dengan rumus :
B2 – B0
BJ alkohol =
B1 – B0
Keterangan :
B1 = Berat piknometer + aquadest
B2 = Berat piknometer + hasil destilasi (alkohol)
B0 = Berat piknometer kosong
BJ = Berat jenis hasil destilasi
Pada waktu penimbangan sampel, dilakukan pula pencatatan suhu. Selanjutnya kadar alkohol dapat ditentukan menggunakan daftar bobot jenis dan kadar alkohol pada suhu kamar.











IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dari penelitian yang telah dilaksanakan didapatkan hasil sebagai berikut:

No volume sampel dosis S. cereviseae rata-rata kadar Alkohol
1 97.5 ml 2.5 gr 0.75%
2 95 ml 5 gr 1.50%
3 92.5 ml 7.5 gr 2.70%
4 90 ml 10 gr 3.45%

Dari data diatas dapat dilihat kadar alkohol yang dihasilkan pada tiap – tiap perlakuan. Pada sample yang diberi dosis S. cereviseae 2.5 gr diperoleh kadar alkohol sebesar 0.75%. Pada sample yang diberi dosis S. cereviseae 5 gr diperoleh kadar alkohol sebesar 1.50%, pada sample yang diberi dosis 7.5 gr diperoleh kadar alkohol sebesar 2.70%. Dan pada sample yang diberi dosis 10 gr diperoleh kadar alkohol sebesar 3.45%.
Secara umum sintesis etanol yang berasal dari biomassa terdiri dari dua tahap utama, yaitu hidrolisi dan fermentasi. Hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida sehingg dapat langsung difermentasi oleh yeast. Pada penelitian ini hidrolisis dilakukan secara biologis, yaitu menggunakan enzim. Enzim merupakan protein yang bersifat katalis, sehingga sering disebut biokatalis Enzim memiliki kemampuan mengaktifkan senyawa lain secara spesifik dan dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia yang akan berlangsung lama apabila tidak menggunakan enzim. Enzim yang digunakan harus sesuai dengan polisakarida yang akan dihidrolisis.
Dapat dilihat pada data diatas, semakin tinggi dosis S. cerevisea yang diberikan maka akan menghasilkan kadar alkohol yang semakin tinggi. Hal ini terjadi karena S. cerevisea merubah glukosa yang terdapat pada sample menjadi alkohol secara fermentasi. Persentase etanol meningkat seiring dengan peningkatan dosis S. cervisea sampai 10gr. Pada konsentrasi ini dihasilkan etanol sebesar 3.45 %. Menurut Roukas (1996), penurunan etanol pada konsentrasi glukosa berlebih terjadi sebagai efek inhibisi substrat dan produk. Menurut Naibaho (1983), semakin tinggi kadar dosis ragi yang diberikan sebagai biokatalisator dalam proses fermentasi, maka semakin tinggi kadar`alkohol yang dihasilkan. Didalam proses fermentasi untuk menghasilkan alkohol harus diberikan dosis ragi yang cocok dan lama fermentasi yang sesuai.
Pada perlakuan dengan menggunakan dosis ragi 2.5 gr didapatkan kadar alkohol sebesar 0.75%. hal ini terjadi karena rendahnya populasi awal sehingga gula yang ada hanya sedikit yang dirombak menjadi alkohol. Menurut Reed (1982), bahwa bila pertumbuhan ragi terhambat maka akan mengakibatkan aktivitas dari ragi yang akan berkurang, sehingga enzim yang dihasilkan juga berkurang dan alkohol pun akan berkurang juga.
Konsentrasi substrat yang terlalu tinggi mengurangi jumlah oksigen terlarut. Walaupun dalam jumlah yang sedikit, oksigen tetap dibutuhkan dalam fermentasi oleh S. cerevisiae untuk menjaga kehidupan dalam konsentrasi sel tinggi (Hepworth, 2005; Nowak, 2000; Tao dkk., 2005). Oksigen dibutuhkan untuk memproduksi ATP dalam glikolisis dan dalam fosforilasi oksidatif. Proses yang terakhir merupakan bentuk reaksi yang paling menonjol untuk memproduksi ATP. Bila tidak ada oksigen (anaerob), NADH dalam mitokondria tidak dapat dioksidasi kembali, maka pembentukan ATP, daur asam sitrat serta pemecahan nutrisi lain juga terhenti. Sebagai substrat energi tetap hanya glukosa yang pemecahannya menjadi piruvat melalui glikolisis menghasilkan dua molekul ATP.
Represi katabolit terjadi ketika glukosa, atau produk awal metabolisme glukosa, menekan sintesis berbagai enzim respirasi (Fietcher et al. 1981). Namun mekanisme detil, seperti senyawa yang memberikan sinyal untuk menekan sintesis tersebut, masih belum jelas (Walker 1998). Ide awal represi katabolit dicetuskan oleh von Meyenberg pada tahun 1969 (Alexander & Jeffries 1990) yang menumbuhkan S. cerevisiae dalam medium yang mengandung glukosa dengan metode continues culture. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa saat konsentrasi sel rendah, jalur metabolisme yang digunakan adalah respirasi, sedangkan ketika konsentrasi sel telah mencapai suatu angka kritis, fermentasi ethanol terjadi. Dari hasil tersebut diduga pada konsentrasi sel yang rendah, enzim-enzim respirasi masih mencukupi untuk melakukan jalur respirasi, namun saat konsentrasi sel bertambah, konsentrasi enzim tidak bertambah sebab ditekan sintesisnya oleh glukosa, sehingga jalur respirasi terhenti dan digantikan oleh fermentasi. Selain represi terhadap sintesis enzim, konsentrasi gula yang tinggi juga akan mengganggu struktur mitokondria khamir, sebagai contoh hilangnya membran dalam dan kristae. Namun struktur tersebut akan kembali normal saat jalur respirasi menggantikan fermentasi ethanol (Walker 1998). Perubahan struktur tersebut akan menghambat siklus Krebs dan fosforilasi oksidatif yang berlangsung di mitokondria.






V. KESIMPULAN


Dari hasil penelitian mengenai kemampuan berbagai dosis S. cerevisiae dalam memfermentasi kulit semangka untuk menghasilkan alkohol dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Semakin besar dosis ragi yang digunakan yaitu 7,5 gr – 10 gr maka makin besar pula kadar alkohol yang dihasilkan yaitu 3,45 – 8,417 %.
2. Rendahnya kadar alkohol pada perlakuan dosis ragi 7,5 gr dan 10 gr disebabkan oleh rendahnya populasi awal, sehingga gula yang ada hanya sedikit yang dirombak menjadi alkohol.
3. bila pertumbuhan ragi terhambat maka akan mengakibatkan aktifitas dari ragi berkurang, sehingga enzim yang dihasilkan juga berkurang dan alkohol pun akan ikut berkurang.
4. Pada inkubasi 72 jam kadar`alkohol tertinggi terdapat pada perlakuan 10 gr S. cerevisiae.
5. Pemberian beberapa dosis S. cerevisiae setelah diuji lanjut dengan BNT menunjukkan sangat berbeda nyata.








DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2010. Tanaman Obat Indonesia. http://www.suaramedia.com/gaya-hidup/kesehatan/11099-kandungan-gizi-penting-pada-buah-melon.html. 19 Januari 2010
Alexander, M.A. & T.W. Jeffries. 1990. Respiratory efficiency and metabolize partitioning as regulatory phenomena in yeasts. Enzyme Micobe. Technol. 12: 2-29.
Ayres, I.C. 1980. Microbiology of Foods. W.H. Freeman and Company San Fransisco.
Buckle, KA, RA Edwards, GH Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. UI- Press, Jakarta.
Castello, R., dan Chum, H. (1998). Biomass, bioenergi dan carbon management. In “Bioenergi '98: Expdaning Bioenergi Partnerships” (D. Wichert, ed.). pp. 11-17.
Dias, J. C. T., Rezende, R. P. dan Linardi, V. R. (2000), Biodegradation of Acetonitrile by Cells of Candida guilliermondii UFMG-Y65 Immobilized in Alginat, k-Carrageenan and Citric Pectin, Departemen Mikrobiologi, Instituto de Ciencias Biologicas, Brasil.
Francois, J., E. van Schaftingen, & H-G. Hers. 1984. The mechanism by which glucose increases fructose-2,6-biphosphate concentration in Saccharomyces cerevisiae. European Journal of Biochemistry, 145: 187 – 193.
Frazier, W. C. And Westhoff D. C. (1978). Food Microbiology. 3rdEdition. Hill Publishing Co. New York.
Hepworth, M. (2005),”Technical, Environmental and Economic Aspects of Unit Operations for the Production of Bioethanol from Sugar Beet in the United Kingdom”, CET IIA Exercise 5, Corpus Christi College.
Iida, T., Izumida, H., Akagi, Y. dan Sakamoto, M. (1993), ”Continuous Ethanol Fermentation in Molasses medium Using Z. mobilis Immobilized in Photo-crosslinkable Resin Gels”, Journal of Fermentation and Bioengineering, Vol. 75, No. 1, 32-35.
Jusfah, J. 1990. Pemanfaatan Limbah Batang Pisang Sebagai Bahan Baku Pembuatan Alkohol Secara Fermentasi. Seminar Hasil Penelitian Bidang Eksakta. FMIPA UNAND. Padang.
Lee, S. S., J. K. Ha, H. S. Kang, T. McAllister, and K.-J. Cheng. 1997. Overview of energy metabolism, substrate utilization and fermentation characteristics of ruminal anaerobic fungi. Korean J. Anim. Nutr. Feedstuffs 21:295–314.
Naibaho, P.M. 1983. Pemanfaatan Inti Sawit sebagai Sumber Gula dan Alkohol. Buletin No. 04 balai Penelitian Perkebunan: Medan.
Nowak, J. (2000). “Ethanol Yield and Productivity of Zymomonas mobilis in Various Fermentation Methods”, Electronic Journal of Polish Agricultural Universities, Vol. 3, No. 2, seri Food Science and Technology.
Nuswamarhaeni, S, Prihatini dan E. P. Pohan. 1985. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Periadnadi. 1985. Penggunaan S. cerevisiae Hansen dalam Memfermentasi Nila Aren. Tesis Sarjana Biologi. FMIPA UNAND. Padang.
Prakasham, R.S. dan Ramakrishna, S. V. (1998), Microbial fermentations with immobilized cells, Lecture Handouts, Biochemical and Environmental Engineering, Indian Institute of Chemical Technology, India.
Reed, G. 1982. Outline of Microbial Taxonomy Metabolism and Genetics. In Reed. G. 1982. Prescott and Dunn’s Industrial Microbiology 4th Edition. AVI Publishing Company Inc. Westport-Conecticutt.
Roukas, T. (1996), “Continuous Ethanol Production from Nonsterilized Carob Pod Extract by Immobilized Saccharomyces cerevisiae on Mineral Kissiris Using A Two-reactor System”, Journal Applied Biochemistry and Biotechnology, Vol. 59, No. 3.
Rukmana, R. 1994. Budidaya Pisang. Penerbit Konisius: Yogyakarta
Saroso, H. (1998), “Pemanfaatan Kulit Pisang dengan Cara Fermentasi untuk Pembuatan Alkohol”, Majalah Bistek, Edisi 06/Th. VI/Desember, 20-28.
Suriawiria, U. 1980. Mikrobiologi Umum. Departemen Biologi. Fakultas MIPA: ITP. Bandung
Suriawiria, U. 1987. Mikrobiologi Umum. Penerbit Angkasa Baru: Bandung.
Tao, F., Miao, J. Y., Shi, G. Y. dan Zhang, K. C. (2003), “Ethanol Fermentation by an Acid-tolerant Zymomonas mobilis under Non-sterilized Condition”, Process Biochemistry , Elsevier, 40, 183-187.
Walker, G.M. 1998. Yeast: Physiology and biotechnology. John Wiley & Sons, Chichester: xi + 350 hlm.


LAMPIRAN

Rata-rata Konsentrasi Alkohol yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae :
Perlakuan
(t) Ulangan (r)
1 2 3 4 5 6 Total Rata-rata
A 0,9 0,7 1,0 0,6 0,5 0,8 4,5 0,75
B 1,2 1,4 1,3 1,6 1,8 1,8 9,1 1,517
C 2,4 2,5 2,6 2,8 2,9 3,0 16,2 2,7
D 3,2 3,3 3,6 3,5 3,4 3,7 20,7 3,45
Total 7,7 7,9 8,5 8,5 8,6 9,3 50,5 8,417

GT2 (50,5)2
FK = = = 106,26041667
t . r 4 . 6
JKT = [(0,9)2 + (0,7)2 + (1,0)2 + (0,6)2 + (0,5)2 + (0,8)2 + (1,2)2 + (1,4)2 + (1,3)2 + (1,6)2 + (1,8)2 + (1,8)2 + (2,4)2 + (2,5)2 + (2,6)2 + (2,8)2 + (2,9)2 + (3,0)2 + (3,2)2 + (3,3)2 + (3,6)2 + (3,5)2 + (3,4)2 + (3,7)2] – 106,26041667 = 27,02958333

(4,5)2 + (9,1)2 + (16,2)2 + (20,7)2
JKP = - 106,26041667 = 26,07125
6
JKG = JKT – JKP
= 27,02958333 – 26,07125
= 0,95833333


Tabel ANOVA
No Db JK KT F.hit F. tab
0,05 0,01
1.

2. Perlakuan

Galat 3

20 8,6904166667

0,0479166665 9,1153** 3,10 5,85
Total
23
F.hit > F.tab
Ket : Antar Perlakuan menunjukkan berbeda sangat nyata
Pada percobaan ini F.hit > F.tab berarti pemberian beberapa dosis Saccharomyces cerevisiae menunjukkan berbeda sangat nyata (P > 0,05 dan 0,01) maka perlu uji lanjut dengan BNT.
BNT (0,05) = 2.306 x √(2x0,0479166665)
3
= 0,23795582
BNT (0,01) = 3,355 x √(2x0,0479166665)
3
= 0,34413818
notasi perlakuan Rata-rata P1 P2 P3 P4 BNT5% BNT1%
A P1 0.75 - 0,23795582 0,34413818
B P2 1.5 0.75** - 0,23795582 0,34413818
B P3 2.7 1.05** 1.2** - 0,23795582 0,34413818
B P4 3.45 2.7** 1.95** 0.75** - 0,23795582 0,34413818
Ket: Antar perlakuan menunjukkan sangat berbeda nyata.

Sabtu, 20 Maret 2010